Jakarta – Presiden Prabowo Subianto secara resmi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, pada Senin (10/11) di Istana Negara, Jakarta. Status kehormatan itu diserahkan secara simbolis kepada dua anak Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Bambang Trihatmodjo.
Nama Soeharto disebut kedua dalam daftar penerima anugerah, setelah Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Selain mereka, terdapat pula delapan tokoh lain yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional tahun ini, termasuk aktivis buruh Marsinah, Menteri Hukum Mochtar Kusumaatmadja, dan Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo.
Pertimbangan Pemerintah
Juru Bicara Istana sekaligus Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menyampaikan bahwa keputusan ini merupakan bagian dari penghormatan terhadap para pemimpin bangsa yang memiliki jasa besar bagi negara.
“Ini bagian dari menghormati para pendahulu, terutama pemimpin bangsa yang memiliki jasa luar biasa terhadap Indonesia,” ujar Prasetyo.
Ia juga menyebut, sebelum penetapan dilakukan, Presiden Prabowo telah menerima berbagai masukan dari sejumlah pihak, termasuk pimpinan MPR dan DPR.
Latar Politik di Balik Penetapan
Beberapa pengamat menilai, penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional tidak lepas dari dinamika politik.
Direktur Eksekutif sekaligus peneliti senior Populi Center, Afrimadona, mengatakan langkah Prabowo mempercepat pemberian gelar ini bertujuan agar tidak menimbulkan polemik di penghujung masa pemerintahannya, saat kekuatan politik masih solid.
Selain itu, ia menilai keputusan ini berkelindan dengan pandangan positif masyarakat kelas bawah terhadap Soeharto dan Orde Baru, yang dianggap sebagai simbol stabilitas, kepemimpinan kuat, dan inflasi rendah.
“Penelitian kami menunjukkan bahwa hampir semua generasi, dari baby boomer hingga generasi Z, memiliki pandangan positif terhadap Soeharto,” jelas Afrimadona.
Respons Keluarga Soeharto
Usai seremoni, Mbak Tutut menanggapi dengan tenang berbagai pro dan kontra yang muncul.
“Kami melihat apa yang sudah dilakukan Bapak sejak muda sampai wafat, semua perjuangannya untuk bangsa Indonesia. Jadi boleh saja ada yang kontra, tapi jangan ekstrem,” katanya.
Ia menegaskan, keluarga tidak merasa kecewa terhadap pihak yang menolak keputusan ini, dan menyerahkan sepenuhnya penilaian kepada masyarakat.
“Rakyat sekarang sudah pintar, bisa menilai sendiri apa yang telah dilakukan Bapak,” ujar Tutut.
Gelombang Penolakan
Meski demikian, keputusan ini menuai kritik keras dari sejumlah organisasi, termasuk Amnesty International Indonesia dan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI).
Dalam pernyataan tertulis, kedua lembaga tersebut menilai penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo sebagai bentuk pemutarbalikan sejarah dan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi 1998.
“Pemberian gelar ini bertentangan dengan mandat konstitusi dan keadilan reformasi. Negara seharusnya berpihak pada korban, bukan pada pelaku pelanggaran HAM,” tulis pernyataan tersebut.
Mereka menilai langkah ini sebagai bagian dari upaya sistematis menulis ulang sejarah Indonesia dengan menghapus jejak kekerasan negara di masa Orde Baru.
“Gelar pahlawan untuk Soeharto harus dibatalkan sebagai tanggung jawab moral dan politik terhadap sejarah bangsa,” tegas mereka.
Soeharto dalam Catatan Sejarah
Dalam pemanduan seremoni di Istana Negara disebutkan bahwa Soeharto diberi gelar pahlawan nasional atas jasa dan kiprahnya dalam bidang perjuangan dan politik.
Soeharto dinilai menonjol sejak masa kemerdekaan, antara lain sebagai Wakil Komandan BKR Yogyakarta dan pemimpin pelucutan senjata Jepang di Kota Baru pada 1945
Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto menjadi salah satu keputusan politik dan sejarah paling kontroversial tahun ini.
Di satu sisi, langkah ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa kepemimpinan masa lalu. Namun di sisi lain, keputusan tersebut membuka kembali luka lama dan perdebatan publik mengenai warisan panjang pemerintahan Orde Baru di Indonesia.