Jakarta – Harapan produsen dan calon pembeli mobil hybrid untuk mendapatkan insentif pajak lebih besar resmi pupus. Pemerintah menegaskan bahwa insentif untuk kendaraan hybrid—yakni keringanan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 3 persen—tidak akan ditambah.
Pemerintah menilai, mobil hybrid bukanlah masa depan. Mereka hanyalah teknologi transisi menuju elektrifikasi penuh. Arah kebijakan jelas: semua insentif diarahkan untuk kendaraan listrik murni berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV), bukan untuk teknologi setengah jalan.
Tidak Termasuk dalam Regulasi
Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), menyebut secara gamblang bahwa secara regulasi, hybrid memang tidak masuk dalam skema kendaraan listrik berbasis baterai yang diatur dalam Perpres No. 55 Tahun 2019 dan Perpres No. 79 Tahun 2023.
“Kalau hybrid kan masih ada rantai pasok bensin. Ditambah memang ada baterai, tapi emisinya masih tetap ada,” ujar Rachmat saat ditemui di Jakarta.
Data pemerintah menunjukkan bahwa meskipun lebih efisien dibanding mobil konvensional, konsumsi bensin pada hybrid masih tinggi. Sementara BEV tidak mengonsumsi bahan bakar fosil sama sekali.
“Kalau ingin insentif lebih besar untuk hybrid, harus dibuat regulasi yang berbeda. Tidak bisa disamakan,” tegas Rachmat.
Diskriminasi Teknologi?
Saat ini, BEV mendapat insentif berupa potongan PPN 10 persen, sementara hybrid hanya memperoleh keringanan PPnBM DTP sebesar 3 persen. Kesenjangan insentif ini dinilai sebagian pihak sebagai bentuk “hukuman” bagi teknologi yang dianggap tidak cukup bersih.
Namun pemerintah punya alasan strategis: mendorong percepatan migrasi ke kendaraan nol emisi. Memberikan insentif besar untuk hybrid dinilai justru akan memperlambat proses transisi menuju elektrifikasi penuh.
Kebijakan ini juga sejalan dengan ambisi Indonesia menjadi pusat industri kendaraan listrik di Asia Tenggara—mulai dari produksi baterai, manufaktur mobil, hingga pembangunan infrastruktur pengisian daya.
Posisi Hybrid: Masih Relevan tapi Terbatas
Meskipun tak mendapat “karpet merah”, mobil hybrid masih punya tempat. Teknologi ini tetap lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak sepenuhnya. Tapi posisinya kini jelas: bukan pemain utama, melainkan pelengkap.
Dengan arah regulasi dan insentif yang tegas, pemerintah berharap para produsen otomotif mulai mengalihkan fokus dari kendaraan transisi ke kendaraan nol emisi sepenuhnya.
Kesimpulan: Takhta Hanya untuk BEV
Bagi konsumen, sinyal pemerintah sudah sangat jelas. Masa depan ada pada mobil listrik murni. Dan hanya mobil listrik murni yang akan mendapat seluruh dukungan, dari insentif pajak hingga pembangunan infrastruktur.
Pintu untuk hybrid mungkin belum tertutup sepenuhnya, tapi jalan menuju keistimewaan fiskal sudah pasti ditutup rapat. Takhta hanya disiapkan bagi sang raja baru dunia otomotif: mobil listrik murni.