Nissan, perusahaan otomotif legendaris asal Jepang yang didirikan pada tahun 1933, saat ini berada di ambang kebangkrutan. Meskipun menghadapi krisis keuangan yang serius, Nissan memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana merger dengan Honda. Banyak analis internasional menyebut ini sebagai kesempatan terakhir Nissan untuk mengubah nasibnya, namun keputusan ini justru dianggap tidak rasional dan dipengaruhi oleh kebanggaan (pride) yang terlalu tinggi.
Sejarah Penurunan Nissan
Nissan telah mengalami penurunan kinerja finansial dalam waktu yang lama. Pada tahun 2024, laba perusahaan anjlok hingga -93,5% dalam setahun. Meskipun Nissan masih mencatatkan laba bersih (net profit), mayoritas analis memprediksi bahwa perusahaan ini tidak akan bertahan lama jika tidak melakukan perubahan signifikan.
Salah satu titik balik dalam sejarah Nissan adalah era kepemimpinan Carlos Ghosn, mantan CEO yang berhasil memulihkan nama Nissan pada masanya. Namun, keberhasilan Ghosn justru memicu ketidakpuasan di kalangan pemain lama Nissan, yang akhirnya memaksa Ghosn keluar dari perusahaan. Ghosn sendiri kemudian menjadi buronan internasional karena tuduhan finansial, yang banyak dianggap sebagai bagian dari permainan politik internal Nissan.
Penolakan Merger dengan Honda
Honda, salah satu raksasa otomotif Jepang, sempat menawarkan bantuan kepada Nissan melalui rencana merger. Namun, kondisi finansial Nissan yang kritis membuat perusahaan ini hanya bisa menjadi “junior partner” dalam kesepakatan tersebut. Nissan menolak tawaran ini karena tidak ingin kehilangan kendali dan kekuatan dalam industri otomotif.
Analis mengungkapkan bahwa Honda sebenarnya tidak membutuhkan merger dengan Nissan. Langkah ini lebih ditujukan untuk menjaga reputasi industri otomotif Jepang secara keseluruhan. Nissan, di sisi lain, mengajukan syarat untuk menjadi mitra setara (50-50) dengan Honda, meskipun ukuran Honda empat kali lebih besar. Permintaan ini dinilai tidak realistis dan mencerminkan ketidakmatangan dalam pengambilan keputusan.
Kritik terhadap Manajemen Nissan
Manajemen Nissan banyak dikritik karena terlalu fokus pada politik internal dan kurang rasional dalam mengambil keputusan. Kebanggaan yang berlebihan dan keengganan untuk mengakui kelemahan dinilai sebagai faktor utama yang menghambat keselamatan perusahaan. Para analis menekankan bahwa dalam situasi kritis seperti ini, keputusan merger seharusnya didasarkan pada perhitungan matang, bukan emosi atau kebanggaan.
Masa Depan Nissan
Dengan penolakan terhadap merger, Nissan kini menghadapi masa depan yang tidak pasti. Tanpa perubahan drastis dalam strategi dan manajemen, perusahaan ini diprediksi akan menghadapi kebangkrutan dalam waktu dekat. Keputusan Nissan untuk “lebih baik bangkrut daripada diakuisisi” menuai pro dan kontra, namun banyak yang menyayangkan hilangnya salah satu legenda otomotif dunia jika prediksi ini menjadi kenyataan.