Jakarta – Arkeolog senior dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Profesor Harry Truman Simanjuntak, memutuskan mundur dari Tim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI) karena sejumlah kejanggalan dalam proses penyusunan. Dalam diskusi daring pada Rabu (18/6/2025), Truman mengungkapkan lima poin yang menurutnya menjadi masalah serius dalam proyek besar yang dipimpin Kementerian Kebudayaan di bawah Menteri Fadli Zon.
1. Waktu Penyusunan Tidak Masuk Akal
Truman menyoroti tenggat waktu penulisan sejarah yang ditetapkan selesai pada Juni 2025, padahal persiapan baru dimulai akhir November 2024. Rapat konsepsi baru digelar pada Januari 2025. Sebagai perbandingan, ia menyinggung penyusunan buku Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang memakan waktu sepuluh tahun (2002–2012). Menurutnya, penyusunan sejarah nasional tak mungkin dikerjakan terburu-buru jika ingin hasilnya kredibel.
2. Konsepsi Disusun di Bawah Arah Penguasa
Truman mengkritik konsepsi buku yang disusun oleh editor umum berdasarkan arahan pejabat tinggi. Ia menilai pendekatan ini berbahaya karena dapat membelokkan sejarah sesuai kehendak politik. Menurutnya, seharusnya ada proses akademik yang terbuka seperti seminar nasional yang melibatkan berbagai ahli untuk menguji dan menyempurnakan konsep, bukan hanya sekadar rapat-rapat terbatas.
3. Outline Buku Tidak Disusun oleh Ahli
Keanehan lain yang diungkap adalah outline atau kerangka isi buku sudah disodorkan kepada penulis tanpa proses penyusunan yang melibatkan ahli bidang terkait. Truman menganggap ini sebagai kemunduran karena substansi sejarah mestinya dirancang oleh sejarawan dan arkeolog berpengalaman.
4. Terminologi “Prasejarah” Diganti Tanpa Alasan Ilmiah
Ia juga menolak penggantian istilah “prasejarah” menjadi “sejarah awal”, yang dianggap tim penulis mengandung bias kolonial. Truman berpendapat istilah “prasejarah” telah digunakan secara internasional selama lebih dari dua abad dan merupakan istilah ilmiah yang mapan. Penggantian istilah ini dinilai tidak memiliki dasar keilmuan yang kuat.
5. Narasi Indonesia-Sentris Dinilai Berlebihan
Kritik terakhir Truman menyasar narasi “Indonesia-sentris” yang menurutnya terlalu glorifikatif dan mengaburkan objektivitas sejarah. Ia menegaskan bahwa ilmu sejarah harus menjunjung rasionalitas dan kebenaran, bukan semata-mata digunakan untuk menonjolkan kebesaran bangsa sambil menutupi sisi gelapnya. Ia menolak jika sejarah dibingkai sebagai alat politik.
Sebelumnya, Kementerian Kebudayaan merancang penulisan ulang sejarah nasional sebagai langkah untuk menghapus bias kolonial, memperkuat identitas nasional, dan menyajikan sejarah yang lebih relevan bagi generasi muda. Proyek ini akan melibatkan 113 sejarawan dari berbagai wilayah Indonesia dan akan disusun dalam 10 jilid, dari awal peradaban hingga era reformasi.
Namun demikian, kontroversi mulai bermunculan, termasuk terkait narasi baru yang dinilai mengabaikan sejumlah peristiwa penting, seperti tragedi kekerasan seksual Mei 1998. Sejumlah kalangan pun mendesak agar proses penulisan ini lebih terbuka, transparan, dan berbasis pada fakta sejarah, bukan kepentingan politik sesaat.