Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat utang masyarakat Indonesia dari layanan pinjaman online (pinjol) dan skema paylater terus membengkak. Hingga Juli 2025, totalnya mencapai Rp117,52 triliun.
Angka tersebut terdiri dari:
- Outstanding pinjol sebesar Rp84,66 triliun
- Baki debet paylater sebesar Rp32,86 triliun
Pinjol Terus Mendaki
Outstanding pinjol per Juli 2025 tercatat naik 22,01% secara tahunan (year-on-year/yoy). Meski pertumbuhan ini melambat dibanding Juni 2025 yang sempat melonjak hingga 25,06% yoy, tren kenaikannya tetap mengkhawatirkan.
Dalam dua tahun terakhir, pinjaman online menunjukkan tren menanjak:
- Desember 2023: Rp59,64 triliun
- Desember 2024: Rp77,02 triliun
- Juli 2024: turun ke Rp69,39 triliun
- Juni 2025: Rp83,52 triliun
- Juli 2025: Rp84,66 triliun
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Modal Ventura, LKM, dan LJK Lainnya OJK, Agusman, menyebut tingkat wanprestasi pinjol di atas 90 hari (TWP90) relatif terkendali. Angkanya turun tipis dari 2,85% di Juni menjadi 2,75% pada Juli 2025.
Paylater Kian Populer, Tapi Risiko Mengintai
Tak hanya pinjol, utang lewat layanan paylater juga meroket. Per Juli 2025, total utangnya mencapai Rp32,86 triliun, dengan rincian:
- Perbankan: Rp24,05 triliun
- Perusahaan pembiayaan: Rp8,81 triliun
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, baki debet paylater perbankan tumbuh 33,56% yoy, naik dari Rp18 triliun pada Juni menjadi Rp24,05 triliun. Jumlah rekening paylater perbankan juga meningkat dari 26,96 juta menjadi 28,25 juta rekening hanya dalam satu bulan.
Sementara itu, perusahaan pembiayaan menyalurkan paylater dengan pertumbuhan lebih agresif, yakni 56,74% yoy, dari Rp5,62 triliun (Juni) menjadi Rp8,81 triliun (Juli).
Namun, lonjakan ini dibarengi dengan tantangan kualitas kredit. Rasio kredit bermasalah (NPF gross) paylater masih tercatat di level 2,95%, meski lebih baik dibanding Juni yang mencapai 3,26%.
Daya Tarik vs Risiko
Fenomena lonjakan utang pinjol dan paylater mencerminkan tingginya kebutuhan pembiayaan masyarakat, terutama generasi muda dan kelas menengah yang mengandalkan transaksi digital.
Namun, di sisi lain, tren ini juga memperbesar risiko keuangan rumah tangga. Apalagi sebagian besar transaksi dilakukan tanpa perencanaan matang, sehingga berpotensi menjerat konsumen dalam lingkaran utang konsumtif.