Jakarta – PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI kini menghadapi tantangan besar akibat tingginya beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau yang dikenal dengan nama Whoosh. Proyek yang dikelola PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) ini dinilai belum berjalan optimal, sementara kewajiban pembayaran bunga kepada China Development Bank (CDB) terus menumpuk.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menyebut total utang proyek KCJB telah mencapai USD7,2 miliar atau sekitar Rp116 triliun, dengan sekitar 75 persen di antaranya berasal dari pinjaman CDB. Pinjaman tersebut memiliki bunga berkisar 3,5–4 persen.
“Jika dihitung, beban bunga saja mencapai kurang lebih Rp2 triliun per tahun. Ini menjadi tekanan besar bagi KCIC, apalagi KAI memiliki porsi kepemilikan mayoritas,” ujar Toto, Sabtu (22/8).
Kinerja Keuangan Masih Rugi
Meski sudah beroperasi, kinerja KCIC masih belum membaik. Pada semester I-2025, perusahaan mencatatkan kerugian Rp1,6 triliun, memang turun dibandingkan kerugian Rp2,3 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Namun, angka ini tetap menjadi beban finansial bagi KAI sebagai induk konsorsium.
Menurut Toto, pendapatan dari tiket Whoosh tidak akan cukup menutup beban utang yang sangat besar. Tingkat okupansi harian kereta cepat itu masih berada di kisaran 60 persen, di bawah skenario moderat yang ditargetkan.
“Dengan kondisi sekarang, pendapatan tahunan Whoosh mustahil menutupi bunga dan cicilan pokok utang. Situasi ini jelas di luar kapasitas KAI,” tegas Toto.
Jika kondisi ini dibiarkan, KAI berisiko menghadapi krisis likuiditas yang bisa berdampak langsung pada operasional hingga pelayanan publik. “Struktur keuangan KAI bisa semakin rapuh dan pada akhirnya mengganggu layanan kereta reguler yang menjadi tanggung jawab BUMN,” tambah Toto.
Alih Utang ke Danantara Jadi Solusi?
Melihat kondisi tersebut, Toto mendukung rencana Danantara untuk mengambil alih sebagian beban utang KAI dari proyek KCJB. Menurutnya, langkah itu akan membantu memperbaiki struktur keuangan KAI sekaligus memberi ruang lebih luas untuk mengembangkan bisnis utama perusahaan.
“Jika sebagian utang dialihkan, KAI bisa fokus kembali sebagai operator. Kondisi keuangannya akan lebih sehat dan tidak terjebak masalah likuiditas,” jelasnya.
Lebih jauh, Toto menilai Danantara memiliki fleksibilitas lebih besar dalam mengembangkan potensi ekonomi di sekitar jalur kereta cepat. Misalnya melalui pemanfaatan lahan untuk pengembangan kawasan, properti, hingga kerja sama komersial.
“Transit Oriented Development (TOD) di Halim dan beberapa titik lain bisa menjadi motor penggerak. Dengan begitu, Whoosh tidak hanya bergantung pada penjualan tiket,” katanya.
Bagaimana Arah ke Depan?
Toto menekankan bahwa keberlanjutan proyek Whoosh sangat bergantung pada diversifikasi pendapatan. Selain tiket, pengembangan kawasan bisnis, pusat komersial, hingga industri di sekitar jalur kereta cepat berpotensi menjadi sumber pemasukan baru.
“Kalau potensi ini benar-benar dioptimalkan, Whoosh bisa menghasilkan pemasukan lebih besar dan berubah menjadi proyek yang berkelanjutan,” pungkas Toto.